Bersikap
Jujur adalah keutamaan. Bersamanya ada ketenangan, ketentraman dan
kebahagiaan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Kejujuran
adalah ketenangan, sementara kebohongan adalah kegelisahan.” (HR. Turmudzi).
Dalam hadits lain beliau bersabda, “Berikan jaminan
padaku dengan enam hal dari dirimu, niscaya aku menjamin surga untukmu:
Jujurlah jika berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah jika diserahi
amanah, pelihara kemaluanmu, jagalah pandanganmu, dan jaga tanganmu.” (HR.
Ahmad).
Dengan dua dalil tersebut dapat dipahami bahwa jujur adalah
senjata utama setiap Muslim untuk bisa meraih surga. Dengan kejujuran,
ketentraman sebuah keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan negara bisa terwujud.
Sebaliknya, tanpa kejujuran, suatu bangsa dan negara bahkan peradaban akan
hancur dalam kenistaan.
Namun demikian, kejujuran tidak mudah diwujudkan. Apalagi kala
kondisi tidak nyaman dan tidak menentu menghimpit begitu kuat. Kebohongan
sepertinya akan menyelamatkan diri. Di sinilah keiman dan masa depan
dipertaruhkan. Tinggal pada kadar keimanan seorang Muslim, apakah dia masih
teguh dalam keimanan dan kebenaran atau lebih memilih kesenangan semu yang fana
di dunia ini.
Pantas jika kemudian dikatakan bahwa, “Kejujuran sejati adalah
saat engkau tetap jujur dalam kondisi yang engkau hanya bisa selamat dengan
berbohong.”
Teladan
Kejujuran
Mengenai kejujuran ini ada satu kisah yang sangat inspiratif
dan mengharukan. Kisah ini termaktub dalam satu hadits shohih yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari.
Pada Perang Tabuk ada tiga puluh ribu sahabat yang keluar
bersama Nabi. Perang itu terjadi pada bulan Agustus, cuaca sangat panas.
Sementara jarak yang ditempuh tidak kurang dari 1000 km.
Orang-orang munafik mulai mencari-cari alasan dan tidak ikut
serta. Akan tetapi, ada tiga orang sahabat yang jujur yang juga tidak ikut
serta bersama Nabi (Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi').
Di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik.
Ka’ab berkata, “Nabi keluar bersama pasukan. Aku berjanji,
“Besok aku akan menyusul mereka.” Sampai akhirnya mustahil bagiku menyusul
mereka. Aku pun menyusuri jalan-jalan Kota Madinah, yang kutemui hanyalah
orang-orang munafik yang memang sudah diketahui kemunafikannya dan orang yang
sakit parah.
Ketika Nabi kembali, aku merasa sangat sedih. Maka aku
bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan aku katakan kepada Nabi? Bagaimana
bisa terlepas dari kemarahan beliau besok?” Saat itu, mulailah terpikir dalam
benakku untuk berbohong.
Tetapi, ketika Nabi datang, pikiran bodoh itu lenyap dariku
dan aku bertekad untuk jujur. Nabi pun masuk dan duduk. Mulailah orang-orang
munafik menemui beliau seraya berkata, “Maafkan aku, wahai Rasulullah....,
maafkan aku wahai Rasulullah.”
Mereka bahkan bersumpah kepada Nabi. Nabi pun menerima
pengakuan lahiriah mereka, memintakan ampunan untuk mereka, membaiat mereka,
memperbarui janji setia mereka, dan menyerahkan segala rahasia mereka kepada
Allah Ta’ala.
Mereka keluar dengan rasa bahagia. Lalu tibalah giliranku
menghadap. Aku masuk menemui Nabi, beliau tersenyum hambar, menunjukkan
kemarahan. Beliau bertanya kepadaku, “Kemari, mengapa engkau tidak ikut?
Bukankah engkau sudah membeli kendaraan?”
Ka’ab pun menjawab, “Wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya
aku duduk di hadapan para penguasa dunia selainmu, tentu aku akan mencari
alasan agar selamat dari murkanya. Aku pandai berargumen. Namun, wahai
Rasulullah, seandainya sekarang aku mengatakan sesuatu yang kusukai,
kemungkinan besar Allah membuatmu murka padaku.
Tetapi, jika aku mengatakan sesuatu yang jujur, aku mengharap
balasannya dari Allah. Demi Allah, tidak ada alasan bagiku untuk tidak ikut.”
Mendengar hal itu, Nabi bersabda, “Ini pengakuan yang jujur.
Bangkitlah sampai Allah memberikan putusan kepadamu.” Nabi pun memberikan
hukuman dengan melarang kaum Muslimin berbicara dengan Ka’ab selama 43 hari
yang disempurnakan menjadi 50 hari.
Ka’ab melanjutkan kisahnya, “Ketika aku pergi dari hadapan
Nabi, datang beberapa orang dari Bani Salamah (salah satu kabilah Anshar),
sembari bertanya, “Mengapa engkau tidak berbuat seperti fulan bin fulan dengan
mencari alasan. Nabi pasti memintakan ampunan untukmu. Bukankah kau lihat Nabi
memintakan ampunan untuk mereka?”
Karena terus diberi masukan seperti itu, Ka’ab nyaris kembali
kepada Nabi untuk berbohong. Hanya saja ia kembali sadar. Hingga akhirnya
turunlah firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. 9: 119).
Medengar ayat tersebut, Ka’ab pun menghadap Nabi di masjid.
Nabi sangat bahagia melihat kehadiran Ka’ab, demikian pula dengan Ka’ab. Lalu
Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, yang membuatku selamat adalah
kejujuran. Dan di antara taubatku adalah bahwa setelah ini aku hanya akan
berbicara jujur.
Buruknya
Kebohongan
Pilihan Ka’ab bin Malik memang sangat berat, sampai-sampai
Allah gambarkan perasaan hati Ka’ab kala memilih jujur dan mendapat hukuman
embargo pembicaraan dari seluruh umat Islam di Madinah kala itu.
إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal
bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja.” (QS. At-Taubah [9]: 118).
Tetapi, berbohong bagaimana pun ‘untungnya,’ pada hakikatnya
tetap merugikan. Terkait hal ini Rasulullah bersabda, “Apabila seorang
hamba berbohong, malaikat yang menyertainya akan menjauh sekitar satu mil
karena bau busuk perbuatannya.” (HR. Tirmidzi).
Selain itu, Rasulullah juga bersabda bahwa bohong itu adalah
pertanda kiamat kecil.
“Di antara tanda kiamat kecil adalah banyaknya kebohongan.” (HR.
Ahmad).
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kejujuran adalah
pangkal ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Jika seluruh penduduk suatu
negeri mengagungkan sifat jujur, tentu keberkahan akan menjadi selimut
kehidupannya. Sebaliknya, manakala kebohongan yang ditinggikan, maka
kesemerawutan akan menjadi monster kehidupannya.
Takwa dan
Jujurlah
Oleh karena itu, Allah mengingatkan seluruh umat Islam untuk
senantiasa bertakwa kepada-Nya sembari menjauhi kebohongan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar. niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. 33: 70-71).
Dengan demikian, jika umat Islam di negeri ini ingin peroleh
kedamaian, ketentraman dan kejayaan, hendaknya benar-benar mengindahkan
kejujuran dengan sebenar-benarnya, baik dalam konteks pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat bahkan bernegara. Sebab, kunci segala kebahagiaan berpangkal pada
kejujuran.